October 11, 2011

After 9 Months

Halo!

Semoga ide yang ini dapat terealisasi! :)

Idenya sudah benar-benar lama, tapi proses pengerjaan yang membutuhkan very-very-good-and-nice mood dan kesabaran, membuat fanfic ini baru sampai pada titik ini. Ini masih sekedar prolog--bukan, bukan, tapi awal dari cerita. Bukan sekedar prolog. Karena kisah ini berdasarkan novel, pastinya ceritanya akan sangat panjang, walau hanya ide dasar yang diambil. Beda dengan fanfic-fanfic sebelumnya yang dirasa terlalu dikejar deadline yang dibuat diri sendiri, untuk kisah ini saya ingin mengerjakannya santai saja... Just take it easy and fun :) I want to enjoy the time of writing, something I had left for years.

Nggak mau lama-lama, silakan!

MA CHÉRIE

Ouran High School Host Club belongs to its respective owners.

Inspired by Sophie Kinsella’s novel “Remember Me?”

Warning: Out of Character, Semi AU, based on anime version

Hidungnya menangkap bau-bauan yang agak familier—entah di mana ia pernah menciumnya, ia tak bisa mengingatnya kecuali perasaan suram yang menusuk-nusuk dirinya—di mana sih ia pernah menciumnya?

Ia mencoba mengingat, tapi kepalanya terasa berat. Lebih baik ia tidur lagi saja...

Entah berapa lama ia tertidur. Sekarang ia sudah terbangun, tapi anehnya matanya tak bisa membuka—seperti kepalanya, terasa berat. Memangnya ia menggunakan bulu mata palsu dan lemnya meleber, ya? Ia kan tidak suka memakai bulu mata palsu... Lagian kenapa pikirannya terasa kosong—bukan, saking semrawutnya ia tak tahu harus berpikir apa. Dia membiarkannya, siapa yang peduli kenapa mendadak pikirannya seperti berkabut. Lebih nyaman tidak memikirkan apa-apa, hanya mendengar suara bisik-bisik orang yang ia tahu ada di dekatnya.

Suara mereka semakin mengecil, ia tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka. Ia ingin tahu, maka ia menajamkan pendengarannya. Tetapi lagi-lagi kepalanya—

.

.

—tunggu. Tunggu sebentar.

Ia jatuh tertidur lagi ya? Ya ampun, ada apa sih dengan dirinya? Apakah—

—tidak. Tidak. Jangan, jangan tidur lagi. Jangan tidur, karena—

.

.

.

Oke. Tadi itu memang tidur yang nyenyak. Lebih nyenyak dibanding tidur-tidur sebelumnya.

Nah, sekarang ia harus bangun. Segera. Karena...

Oh, bagus. Ia tidak ingat apa-apa.

Matanya masih terlalu berat untuk dibuka, maka ia membiarkannya terpejam. Dia mulai menelusuri lagi ingatannya. Pertama, ia bertanya pada dirinya sendiri, apa yang ia lakukan kemarin malam sampai badannya ngilu-ngilu.

Pasti ada, pasti ada satu ingatan yang menjadi kuncinya... Tapi apa? Apa..?

Sherry.

Sherry? Dia habis mabuk-mabukkan apa? Ayahnya bisa mengamuk kalau ia kedapatan mabuk-mabuk berat sampai seperti ini. Atau jangan-jangan badannya sakit karena dihajar ayahnya?

Masuk akal, tapi mari singkirkan pikiran itu—ia sama sekali tidak suka mabuk-mabukan, jadi pasti ada alasan lain.

Sherry. Sherry. Bukan, maksudnya bukan sherry. Ada maksud lain. Yaitu... chérie. Bahasa Prancis?

Bahasa Prancis berarti... Tamaki. Hanya Tamaki yang memiliki imej Prancis dalam dirinya. Hanya Tamaki yang sering menggunakan Bahasa Prancis. Hanya Tamaki yang sering memanggilnya—

Oh! Ya, tentu saja!

Ma chérie. Bagaimana mungkin ia lupa pada panggilan sayang Tamaki padanya? Ia senang sekali jika mendengar Tamaki mengucapkannya, dengan caranya tersendiri yang membuatnya terpesona.

Selama beberapa menit dia hanya berbaring diam, meresapi kata itu, raut wajah Tamaki yang melembut saat mengucapkannya, tangannya yang berjari panjang mengulur ke arahnya, mengajaknya untuk masuk ke sebuah butik...

Butik.

Butik langganan keluarga Suoh. Mereka pergi ke sana karena...

Dapat. Ada makan malam bersama Suoh Yuzuru dan Shizue. Ia harus pergi membeli gaun baru karena Shizue tidak senang melihat gaun yang sama dipakai lebih dari satu kali.

Lalu rentetan kejadian saat makan malam membanjiri ingatannya, deras sekali sampai-sampai ia harus mengernyit akibat pusing. Ia tak bisa menghalaunya, semuanya datang terlalu cepat dan terlalu jelas, sejelas ucapan Shizue saat mengutarakan perintahnya agar ia—

—agar ia, Fujioka Haruhi, menikah dengan Tamaki.

Dan Tamaki yang begitu percaya diri menyanggupi tantangan neneknya—dan seorang pelayan dipecat malam itu—dan Tamaki yang nyaris menciumnya—dan...

Sial, sial! Itu dia! Kulit pisang itu! Haruhi sudah nyaris ingin menjambak rambutnya, tapi tangannya malah bergerak canggung, menimbulkan suara desiran halus yang aneh. Haruhi menyentuh pakaian yang dikenakannya—pakaian rumah sakit menurut perkiraannya, berdasarkan jenis kainnya. Lagipula bau-bauan familier ini pernah ia hirup saat menjenguk ibunya menjelang kematiannya. Bau yang suram dan hampa.

Oh Tuhan, pastilah ia terguling-guling hebat di tangga itu... Sampai ia harus dirawat di rumah sakit. Haruhi mencoba menggerakkan kedua kaki dan tangannya. Tidak mati rasa dan masih bisa mengejang ganjil, setidaknya ia tidak mengalami patah tulang. Kecuali di bagian tubuhnya, karena benar-benar ngilu di bagian sana.

Tragis sekali hidupnya. Seketika ia teringat pada pelayan restoran yang dipecat di muka umum itu. Sekarang ia nyaris bernasib sama dengan pelayan itu, padahal sebentar lagi Natal akan tiba...

Hei! Ia tidak melewatkan Natal kan, omong-omong?

Satu-satunya cara untuk mengetahui hal tersebut adalah bangun, Haruhi, batinnya.

Perlahan ia membuka matanya, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum bisa fokus. Yang pertama kali ditangkap penglihatannya adalah langit-langit putih.

Duh, kenapa seperti adegan dalam dorama saja? Klise sekali. Terbangun di rumah sakit dan ketika terbangun yang pertama kali dilihatnya adalah putih. Selanjutnya apa? Apakah ia divonis cacat seumur hidup, mengidap penyakit berat, amnesia, atau salah dikenali sebagai orang lain?

Hah! Haruhi sedikit geli memikirkan betapa sinisnya ia.

Tidak mungkin. Ia ada di rumah sakit karena ia terjatuh dari puncak tangga dalam misi menyelamatkan Suoh Shizue, bukan karena pingsan mendadak setelah muntah darah atau karena kecelakaan hebat. Yang dikhawatirkannya adalah kemungkinan cacat seumur hidup atau amnesia. Tapi sepertinya kedua hal tersebut juga tidak mungkin. Kedua tangan dan kakinya masih utuh dan berfungsi—mungkin—dan ia masih ingat bahwa namanya adalah Fujioka Haruhi dan seluruh kehidupannya.

Setidaknya untuk saat ini ia boleh bernapas lega.

Haruhi memeriksa lengannya yang terpasang infus. Jarinya yang sedikit membengkak menandakan kalau ia sudah terbaring cukup lama di sini. Haruhi mendesah keras. Mau tidak mau ia berpikir apakah ia sudah melewatkan banyak hal karena kejadian itu? Ia bukannya mau berlagak seperti pahlawan—hendak menyelamatkan calon nenek mertuanya dari marabahaya. Itu semua benar-benar refleks, tubuhnya yang langsung bertindak.

Tuhan, semoga saja ayahnya tidak terlalu cemas dengan dirinya. Dan juga dengan tagihan rumah sakit. Memikirkan ada kemungkinan seluruh tagihan dibayar oleh keluarga Suoh, malah tidak membuat Haruhi semakin lega. Utang budi, pikirnya getir, dia berutang budi seumur hidup pada keluarga Suoh.

Haruhi hendak menurunkan lengannya yang kaku dan bengkak ketika menyadari ada sesuatu yang aneh pada tangannya.

Kuku-kukunya pendek—seperti biasanya—dan dicat bening.

...dicat bening? Sejak kapan dia suka mengecat kuku? Haruhi kembali memeriksa tangannya dengan seksama dan tidak, ia tidak salah melihat. Kukunya memang dicat, dan ada kemungkinan kukunya hasil menicure di salon.

Apakah menicure termasuk salah satu layanan dari rumah sakit?

Pasti ini ulah Shizue agar dirinya tidak tampil memalukan meski dalam keadaan tidak sadarkan diri. Haruhi malah curiga ia menempati kamar paling mewah dan mahal di rumah sakit entah-di-mana ini.

Ia harus segera berbicara dengan Tamaki soal ini!

Haruhi bangkit dengan menyangga tubuhnya pada kedua tangannya. Badannya benar-benar pegal, seperti ditinju oleh berandalan saja. Kerongkongannya juga kering, membuatnya kembali bertanya-tanya berapa lama ia tidak sadarkan diri.

Dan pandangannya langsung tertumbuk pada sesosok kepala berambut pirang keemasan yang tengah duduk membelakangi dirinya di sofa ruang tengah.

Panjang umur.

“T—!”

Haruhi terperangah, dan kemudian menghela napas sedih. Suaranya habis. Ia baru menyadari kalau kerongkongannya tidak sekedar kering, tetapi juga memengaruhi suaranya. Ia butuh air secepatnya.

Ada suara dering telepon genggam yang asing di telinga Haruhi. Milik Tamaki. Lelaki itu beranjak dari duduknya dengan telepon di telinganya, tidak sadar kalau Haruhi sudah bangun.

“Kawahara-san.” Tamaki mendekati jendela, memandang kejauhan. “Saya harap negosiasinya berjalan lancar?”

Tanpa memandang wajahnya saja Haruhi tahu ada yang berbeda pada diri Tamaki. Rambutnya dipangkas rapi dan disisir ke belakang. Tubuhnya yang berbalut setelan jas hitam tampak tegap dan berwibawa, aura seorang lelaki sukses menguar kuat dari dirinya.

Tiba-tiba saja Haruhi merasa sedih. Sosok Tamaki dari belakang tampak asing baginya.

Kenapa? Kenapa? Haruhi mengulangi pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Ada yang mengganjal di hatinya, seperti perasaan rindu atau semacamnya.

Meyakinkan dirinya itu hanya efek samping karena sudah lama tak melihat Tamaki—efek tidurnya yang panjang—Haruhi membiarkan Tamaki berbicara dengan lawan bicaranya di telepon, tidak jadi mencoba memanggilnya. Ia sangat membutuhkan air untuk minum, tetapi yang penting ia tidak sendiri di kamar rawat yang luas ini.

Pandangannya mengitari kamar itu. Luas dan mewah. Mempunyai ruang tengah dan dapur juga. Oh, bagus. Berarti memang biaya perawatannya ditanggung oleh keluarga Suoh. Haruhi merasa jengkel. Ayahnya masih bisa kok membayar biaya perawatannya, kalau kamarnya tidak semewah ini. Toh Haruhi merasa cukup jika harus berbagi kamar dengan dua, tiga pasien lainnya, dan di rumah sakit sederhana. Sendirian di kamar seluas ini malah membuat dirinya merasa tidak aman. Seolah-olah seorang psikopat gila bisa menyergapnya kapan saja.

Kemudian pandangannya tertumbuk pada jendela besar di kamar itu. Ia bisa melihat pemandangan kota dari atas—tapi tidak banyak yang bisa dilihat dari posisinya yang sekarang. Selain beberapa gedung pencakar langit, yang bisa ia lihat hanyalah langit biru polos dengan awan putih yang bergumpal-gumpal—

Lagi-lagi Haruhi terperangah.

Musim dingin pasti sudah lewat! Kalau sekarang bukan musim panas, pastilah musim semi. Tapi melihat intensitas cahaya yang terik dan birunya langit, Haruhi memperkirakan kalau musim panas baru saja tiba.

Haruhi kehilangan kata-kata. Sebenarnya BERAPA LAMA ia tidak sadarkan diri?


Terima kasih!


0 comments:

 

Blog Template by YummyLolly.com - RSS icons by ComingUpForAir